Sabtu, 29 Juni 2013

Hangul Day

Juni 29, 2013 1 Comments



Tomorrow, the 9th October is Hangul day! A day where the Korean alphabet is celebrated and promoted. For those of you who are unfamiliar with the Korean language, looking at a completely different alphabet system can be daunting, and learning it can seem like a MASSIVE and time costly task. But never fear! Hangul was specifically developed and designed to be quick and easy to learn by King Sejong the Great! So lets take a moment to discover what makes this alphabet system so great and why it deserves to be celebrated.

What makes the Korean writing system different from other Asian languages, such as Japanese and especially Chinese, is that it has a distinct alphabet rather then thousands and thousands of characters you just have to memorise. The Korean alphabet was carefully developed with originally 28 letters, but today only 24 consonants and vowels are in use, a very similar amount to our own Roman alphabet. But each of these characters was specifically designed to be logical and straight forward, so that it was an alphabet system that could be learned by all people, from nobility to the peasantry. And even though there are only 24 consonants and vowels in the Korean alphabet, it boosts the possibility of 11, 172 syllables! Fun Fact: Hangul actually means ‘Great Script’ – a perfect name for it!

King Sejong, or Sejong the Great, is a huge name in Korean history. Known for his innovation and intelligence, it was this King who decided that the Korean people needed their own distinctive alphabet, rather than using Chinese characters (Hanja). King Sejong felt it was important for Korea to have its own writing system for ‘cultural independence’ and to ensure the continuing longevity of the country’s own culture. Chinese characters were difficult to use with the Korean language, and usually only male nobility had the time and resources to learn the language which meant most of Korea was illiterate. King Sejong wanted to put an end to this and created Hangul for all people. In the Haerye, Hangul was described as being so well and logically thought out that “a wise man can acquaint himself with them before the morning is over; a stupid man can learn them in the space of ten days.” We’re thankful to say that when learning this ourselves, it only took a few hours – we’re saved from the category of a stupid man!

By commissioning an alphabet that everyone could use, it would mean the lower classes, who weren’t able to learn Chinese characters, could now use this alphabet to write down and communicate their own thoughts and opinions. This did cause some upset in the elite noble classes, who thought that Hangul was ‘vulgar’ and came up with derogatory names for the Hangul system. As you can imagine, being literate was some what of a sign of social status, and the Hangul system was perceived to be a threat to their status as now any commoner was able to read and write. However, Hangul won out in the end and is now more popular than ever!

The alphabet itself is thought to have been created by ‘The Hall of Worthies’. This ‘Hall of Worthies’ was made up of a group of scholars who had been selected by King Sejong because of their talents and minds. The project to create this new alphabet was completed late 1443 to early 1444. In 1446, a document called the Hunmin Jeongeum, or ‘The Proper Sounds for the Education of the People’, was published, explaining the designs of the alphabet. This document was published on the 9th October, hence Hangul day!



Korean script is written from left to right, horizontally, which is another similarity with our own alphabet. The big difference is the fact that Hangul is written in syllable blocks rather than one letter following another, like in our alphabet system. For example, ‘Hangul’ in Hangul is 한글. This is two syllables made up of ‘han’ 한 and ‘gul’ 글, where the first syllable is comprised of ᄒ/h,ᅡ/a and ᄂ/n, and the second is made up of ᄀ/g, ᅳ/eu and ᄅ/l. The chart on the left shows the vowels and consonants and then the combinations in which they can be combined to form syllable blocks. We had a look round on the internet and found this handy site where you can learn online. It has sound clips of pronunciations etc, and even show you the correct way to write each letter. If you have some spare time, why not try it out and see how it goes!

Learning Hangul is fun, interesting and (relatively) easy. We can guarantee this as Korean language students ourselves! If you’re thinking ‘I can just read the romanisations, there’s no need to learn Hangul’, please do consider giving Hangul a chance. Reading romanisations of Korean words can be ridiculously confusing. Some short words can turn out to be crazily long and complicated when romanised because of double letters and letter grouping, and very often romanisations aren’t accurate. It’s much, much easier to read Hangul than romanisations. In addition, it’s always more useful to read a language in its own alphabet, and it will give you a more in-depth understanding of the language!

So, if you’re ever in Seoul, don’t forget to pay your respects to the man himself and visit the MASSIVE statue of Sejong the Great, between Cheonggyecheon and King Sejong’s home Gyeongbokgung Palace. The alphabet is even engraved onto it as a reminder of his amazing contributions to the nation. Can you spot the few characters that are no longer in use? So on this Hangul day, lets all take a moment to remember the brilliance of King Sejong, SEJONG THE GREAT!



My Little Princess | part 1

Juni 29, 2013 0 Comments


Author : Kim Nhara
Genre : Romance, Family 
Cast : Tentukan sendiri sesuai imajinasi kalian, karena author tidak memaksa dan membatasi imajinasi kalian.
Desclaimer : Ini asli milik Author. Tolong berikan komentar ya :)



PROLOG
Siapa gadis ini?
Apakah dia pernah hidup bersamaku di kehidupan sebelumnya?
Wajah dan senyumannya tentu membuatku serasa berada di beberapa tahun silam. Sepertinya aku telah di lahirkan kembali di dunia yang sama.
Apakah ini dunia nyata?
Apakah ini takdir? Semuanya berjalan dengan cepat.
Aku tak mampu mengenali diriku yang dahulu.
Apa aku sudah gila?
Bahkan sejak awal, kau adalah milikku..

 -----------------------------------------------------------------------

PART I

“Aku tidak bisa pergi tanpa membawa uangku!!!!! Aku harus pulang dan mengambil beberapa pakaian dan kartu kreditku sebelum kau meninggalkanku disini.” Pekik gadisdidepannya itu dengan suara melengking.
Ia sangat tahu bagaimana perasaan gadis itu. Tapi tak ada yang bisa ia lakukan. Ia hanya mendapat perintah untuk membunuh Jin Dae Han. Gadis yang ia cintai. Apakah dia akan benar-benar membunuhnya??? Tentu saja tidak. Kyung Woo mengulurkan tas mewah dan sekoper pakaian milik gadis yang ada didepannya. Ia benar-benar tidak tau harus melakukan apa setelah melihat gadis yang didepannya itu duduk di trotoar dengan memeluk lututnya.
“Oppa, apa yang harus aku lakukan????”
Kyung Woo duduk disebelah gadis itu dan merangkul pundaknya. “Dae Han ah, kau harus tau mengapa aku lakukan ini padamu. Aku tidak ingin kau mati ditanganku. Biar aku saja yang dibunuh jika Ibutahu kau tidak benar-benar mati.”
Gadis itu menatap Kyung Woo yang saat itu juga sedang memandangnya. Mata mereka bertemu pandang. Kemudian Dae Han berdiri dan duduk setengah bersandar di bagian depan mobil Kyung Woo. “Dia memang licik. Apakah ayahku tau tentang ini??? Lama-lama aku bisa gila.”
Hati Kyung Woo bagai tersayat melihat gadis itu meneteskan air mata. Apalagi jika harus membunuh gadis itu menggunakan tangannya sendiri. Ia benar-benar tak habis pikir. Kyung Woo beranjak dan menggenggam tanga Dae Han. “Kau,” suaranya bergetar. “jaga diri baik-baik. Aku sudah mencarikan apartemen untukmu. Aku juga akan sering menjengukmu. Kau harus makan tepat waktu. Jika ada sesuatu, hubungi saja aku. Sekarang aku harus pergi.” Kata Kyung Woo lalu masuk kedalam mobilnya. Dan seketika itu, mobilnya melesat kencang.
“Oppa...”
Kyung Woo hanya menangis saat dia mulai bergerak menjauhi tempat gadis itu berdiri. Masih bisa dilihat jelas dari spion bagaimana keadaan Dae Han saat dirinya mulai menjauh. Dae Han menangis dan terus menatap mobil Kyung Woo darisana, hingga Kyung Woo sudah tak dapat melihat Dae Han lagi.

***

“Apa yang harus aku lakukan sekarang???” suaranya mulai serak karena terlalu banyak menangis. Sejak lahir, dirinya tak pernah hidup sendirian. Didalam hidupnya selalu banyak orang yang mengelilinginya, ayah, ibu, nenek, dan para pengasuhnya. Kini tiba-tiba ia harus tinggal di apartemen seorang diri. Tak ada koki pribadinya yang selalu membuatkan makanan kapanpun saat dia merasa lapar. Tak ada Wong Ki, anjing kecilnya. Tak ada para pengasuhnya yang selalu bisa disuruh ini dan itu, kapanpun dan dimanapun ia berada.
Ia meraih remot control dan menghidupkan TV diruang tengah apartemennya itu. Ia melihat berita sekilas lalu mengambil minum. Tapi, ia kembali pada berita di TV itu dan membatalkan niatnya untuk minum. Berita apa ini?? Berita tentangnya??.  “.....Pewaris Grup JinDy, Jin Dae Han meninggal karena kecelakaan lalu lintas tadi malam. Tak banyak orang yang mengetahui hal ini. Hanya saja pihak keluarga dan kerabat dekatnya saja......”
Tangan Dae Han mengenggam remot control dengan sangat erat. Tangannya pun sampai bergetar. Ia ingin sekali pulang ke Macau dan memaki Hong Su Ri. Dadanya terasa sesak mendengar berita itu. Berita palsu yang telah direncanakan oleh Ibu tirinya. Dan sesekali ia melototkan matanya ke depan layar TV. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ada sebuah makam mewah yang bertuliskan nama Jin Dae Han di nisannya. Dan disebelahnya. Apa ini??? Kenapa dia melakukan ini???. Disebelahnya ada Ibu tirinya yang terduduk lemas sambil menangis. Sebenarnya, jasad siapa yang dibawa oleh Kyung Woo dan diserahkan kepada ibunya itu?? Dae Han tahu pasti. Bahwa Kyung Woo adalah laki-laki yang pintar. Hal seperti ini tentu tak ada masalah baginya.
“Gila!!!!! Apa yang dia lakukan??? Setelah dia buat ayahku menderita, sekarang saatnya dia membuat hidupku berantakan. Benar-benar tidak waras!!!!!. Selama aku masih hidup, tak akan ku biarkan Grup JinDy menjadi miliknya.” Seru Dae Han.
Ting..tung...
Suara bel pintu apartemen membuatnya terkejut dan tersadar dari omelannya. Ia menghampiri Interkom untuk melihat siapa yang datang. Oh, rupanya pegawai apartemen.
“Selamat pagi Nona. Anda harus segera pergi dari tempat ini. Karena sebentar lagi, Dong Ho ssi akan segera tiba.” Kata laki-laki pendek dan sedikit gemuk itu.
“Tapi aku sudah membayar sewa apartemen ini selama 1 tahun. Kau ini bagaimana. Kalau ada yang sewa, bilang saja ini sudah di sewa oleh Jin Dae Han.” Kata Dae Han lalu menutup pintu. Dengan sigap, laki-laki itu menahan daun pintu dengan kakinya.
“Tidak bisa Nona, memangnya anda siapa???. Uang anda nanti akan kami kembalikan. Cepat bereskan barang-barang anda.”
“Tidak mau!!!!!”
“Baiklah, mungkin cara ini yang anda inginkan!!!!”

***

Dong Ho keluar dari mobil verarry sportnya dan berjalan menuju ke dalam apartemen mewah yang dipesannya beberapa saat lalu. Sampai di pintu masuk, ia melihat laki-laki yang umurnya 2 tahun lebih tua darinya dan segera berjalan menghampirinya.
“Oh, Hyung!!” sapa Dong Ho sambil mengangkat tangan kanannya ke arah laki-laki yang tengah berjalan menghampirinya.
“Bagaimana keadaannya??? Tidak terlalu jelekkan??? Untuk sementara kau tinggal disini dulu sampai rumahmu selesai direnovasi.” Kata laki-laki yang dipanggil Hyung oleh Dong Ho itu.
“Kamarku nomor berapa???” tanya Dong Ho kepada manajernya setelah menerima kunci kamar yang diulurkan oleh laki-laki yang ternyata bernama Park Joo Yong itu.
Park Joo Yong hanya tersenyum, lalu berkata, “di lantai 4. Nomor 210. Mereka dengan susah payah mendapatkan apartemen itu.” kata Park Joo Yong kemudian mengikuti artisnya masuk kedalam lift.
Lelah sekali!!! Pikir Dong Ho. Matanya sudah tak kuat lagi untuk dibuka. Lalu ia mengerjapkan matanya sebelum mendengar dentingan bel tanda pintu terbuka berbunyi.

***


“Jangan lempar tas ku!!!!!! Kau tau berapa harga tas ini??? Aku dapatkan tas ini di acara peluncuran perdananya.” Teriak Dae Han. Ia sama sekali tak habis pikir kenapa nasipnya bisa sesial ini.
“Cepatlah pergi Nona!!!!! Oh, Lee Dong Ho ssi, sudah datang???” kata pegawai apartemen setelah melihat seseorang di belakang Dae Han.
Dae Han menoleh hanya dengan satu sentakan. Siapa laki-laki ini??? Mungkin dia lah orang yang telah merebut apartemennya???.
Laki-laki itu memberi salam kepada si pegawai apartemen dan sedikit tersenyum kepada Dae Han. Apa??? Apa yang dia lakukan??? Setelah merebut apartemennya, dia mau bersikap baik pada Dae Han???
“Apa???” kata Dae Han sambil mendongakkan kepalanya ke laki-laki itu.
“Siapa dia???” tanya Dong Ho kepada manajer dan pegawai apartemen itu.
Joo Yong hanya mengangkat bahunya dan menggeleng pelan. Dan dengan serentak, mata Dong Ho dan Joo Yong langsung tertuju pada pegawai apartemen itu. dialah satu-satunya yang bisa diminta penjelasan.
“Nona ini adalah penyewa apartemen ini sebelum anda. Dan dia tidak mau pergi dari apartemen ini. Padahal, sudah saya ingatkan sejak 1 jam yang lalu.”
Mata Dae Han serasa ingin keluar dari tulang tengkoraknya. Tangannya menahan jantungnya didepan dada, ia merasa bahwa jantungnya pun sudah hampir copot. Kenapa hari ini benar-benar sangat menyakitkan???. “Hey Tuan!!!! Aku baru saja pindah kemari. Aku juga sudah membayar uang sewanya selama 1 tahun kan??? Bahkan seharipun aku belum tidur diranjangnya. Seharusnya kau suruh tuan ini mencari apartemen lain,” kata Dae Han sambil menunjuk laki-laki yang berdiri disebelah manajernya itu.“Negara ini juga punya peraturan!!! Jangan main ambil apartemen orang!!!” teriak Dae Han di depan wajah pegawai apartemen itu.
Tuan yang ditunjuk oleh Dae Han itu punya nama. Namanya adalah Lee Dong Ho, artis papan atas yang baru saja pulang dari Amerika Serikat. Dan saat ia pulang, rumahnya sedang direnovasi. Karena pada saat terakhir kalinya ia berada disana, rumahnya sedang kacau karena di kira tidak punya surat tanah. Ibunya seorang Pengusaha resort Spa di Jeju.
“Siapa gadis ini sebenarnya???” Dong Ho sangat terkejut melihat gadis yang bersikap biasa-biasa saja saat bertemu dengan dirinya. Padahal, 99 % wanita yang bertemu dengannya akan selalu berkomentar ‘Oppa, kau tampan sekali!!!!’, itu minimal bagi wanita yang tidak kenal dengan Dong Ho. Sedangkan untuk penggemarnya, mungkin bisa lebih sedikit anarkis dari penggemar artis lainnya.
“Aku Jin Dae Han!!!! Cepat kembalikan apartemenku!!!!!” kata Dae Han sambilmengulurkan tangannya kedepan wajah Dong Ho.
“Apa??? Ini sudah menjadi milikku.” Kata Dong Ho lalu masuk kedalam apartemen itu dan diikuti oleh Dae Han.
Dong Ho melihat-lihat isi apartemen itu. Cukup bagus. Ada 2 kamar didalamnya, satu dapur dan satu kamar mandi. Ada ruang TV yang sedikit berantakan didalamnya. Bantal yang berserakan dikarpet ruang TV dan beberapa bungkus makanan ringan???? Pasti ulah gadis itu, pikir Dong Ho.
***

Dae Han merebahkan tubuhnya di soffa ruang TV. Ia menatap lekat wajah 2 laki-laki yang duduk didepannya itu. Ia berharap mereka bisa berubah pikiran setelah melihat ekspresi Dae Han, tapi ternyata tidak.
“Sedang apa kau disini??? Pergilah. Ini sudah menjadi apartemen ku.” Kata Dong Ho kemudian menerima sekaleng soju yang diulurkan Joo Yong.
Dae Han menerima juga sekaleng soju yang diulurkan Joo Yong untuknya dan untuk laki-laki yang menyebalkan itu. “Ajjushi, tolong kasihani lah aku. Aku kemari sendirian, aku juga tidak punya sanak saudara ataupun teman disini.” Kata Dae Han dengan wajah tertunduk lesuh.
“Bagaimana bisa seperti itu????” sahut Joo Yong penasaran.
Dae Han mendongakkan kepalanya dan menatap laki-laki yang bertanya padanya itu dengan suara lemah. “Ibu tiriku, dia ingin aku mati. Agar dia bisa menguasai seluruh harta ayahku di Macau. Tapi, seseorang telah menyelamatkanku dan mengasingkan ku disini. Aku memang berasal dari Seoul. Tapi, rumahku yang di Seoul sudah dijual oleh wanita itu.”
“Ibu tirimu???” tanya Joo Yong.
Dae Han mengangguk dan kembali menatap laki-laki itu penuh harapan. “Aku kini sebatang kara.” Desah Dae Han.
“Kau kira ini apa???? Negeri dongeng??? Mana mungkin aku percaya dengan ceritamu. Sama sekali tak masuk akal. Lalu kau menyebut ini apa??? Dongeng Putri Salju???” desah Dong Ho.
Wajah Dae Han semakin pucat pasi. Semangatnya mulai meredup dan suaranya mulai melemah. “Kalau kau tak percaya, baiklah. Aku akan pergi. Aku juga bukan pengemis dan aku masih punya harga diri.” Kata Dae Han lembut kemudian menarik kopernya.
“Hey Nona, kau mau kemana??? Kau akan tidur dimana???” sahut Joo Yong.
“Tidak apa-apa. Aku akan menggelandangpun bukan urusan kalian kan. Kalian memang tak akan bisa mempercayai ceritaku.” Desah Dae Han dengan suara lemah. Ia menarik tas kopernya dengan lemah. Joo Yong terlihat ingin mencegah wanita itu pergi. Tapi, Dong Ho mulai mengomel.
“Hyung, biarkan saja dia pergi!!!Kita tidak tahu apa yang sedang direncanakan dia. Bisa saja dia orang jahat yang sedang menyamar.”

***

Dae Han menarik tas kopernya dan segera pergi dari tempat itu. Tak ada yang bisa dipertahankan. Laki-laki itu benar-benar keras kepala. Jalannya mulai sempoyongan saat hendak masuk kedalam lift. Pikirannya kacau, hatinya galau. Ia tak tau harus kemana lagi setelah ini. Ia menekan tombol lift untuk menuju lantai dasar. Selama itu, ia hanya melamun dan menahan rasa sakit di dadanya. Jantungnya mulai berdetak kencang, tak seperti biasanya.
Ting...
Dentingan lift berbunyi yang menandakan pintu akan terbuka. Menyadarkan Dae Han dari lamunannya. Tiba-tiba ia merasakan kepalanya berat sekali dan susah berjalan. Tepat didepan lift, ia menjatuhkan tasnya dan melepaskan pegangan kopernya begitu saja. Kepalanya benar-benar sakit dan kemudian jatuh pingsan tepat di depan lift.

***

“Baiklah Hyung. Kalau begitu aku yang akan pergi ke supermarket.” Kata Dong Ho seraya memakai jasnya dan mengambil dompet beserta kunci mobilnya.
“Hey, jangan beli yang kadar alkoholnya tinggi.” Seru Joo Yong dengan tangan menggenggam ponsel dan mulai menekan beberapa nomor di ponselnya.
Dong Ho berjalan memasuki lift, lalu memakai kacamata hitam dan sedikit menata rambutnya. Ia tetap seperti itu sebelum mendengar dentingan lift.
Ting...
“Mengagetkan saja.” Desahnya setelah lift berdenting dan membuka pintunya secara perlahan.
Dong Ho tetap berjalan sambil melihat kearah jam tangannya. “eh,” pekiknya. Ia menginjak sesuatu. Mungkin batu? Oh tidak, mungkin tas? Ya, dia menginjak tas gadis yang ditemuinya waktu lalu. Sedang apa gadis ini??? Ia memandangi Dae Han dengan bertanya-tanya. Apakah gadis ini pingsan???. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari seseorang yang mungkin tau sebab gadis ini seperti ini. Sepi, tak ada siapa-siapa disana.
“Nona, sedang apa kau disini??” tanyanya pada gadis itu. namun, Dae Han tetap tak bergeming sedikitpun. Dong Ho mencoba menyentuh tangan gadis itu dan ‘Astaga!!!’. Tangannya dingin sekali.
Dong Ho juga tak sekejam itu kepada wanita. Dia menggendong Dae Han dan membawanya ke apartemennya. Dong Ho melihat ke sekitar, hanya ada seorang yang tak ia kenal yang tengah berdiri memperhatikannya. Percuma saja minta tolong kepada dia.
“Apa yang sebenarnya terjadi??? Apa kau berusaha melukai gadis ini???” tanya Joo Yong begitu melihat artisnya menggendong gadis yang mengaku namanya Jin Dae Han itu.
“Dia pingsan di depan lift. Aku merasa iba kepadanya. Tolong kau rawat dia ya.” Kata Dong Ho kemudian meletakkan Dae Han di tempat tidurnya.
“Aku mau pergi menemui Presdir sekarang. Ada jadwal showmu yang dibatalkan. Kau rawat saja dia sendiri. Baiklah, aku pergi.” Kata Joo Yong lalu memakai sepatu dan pergi dari apartemen itu.
“Hyung!!!!” seru Dong Ho kepada Hyungnya yang akan pergi dari apartemennya itu. Joo Yong menghiraukan seruan Dong Ho dan mendesah pelan.
“Rasakan!!! Suruh siapa kau tak mempedulikan nona itu tadi. Padahal sudah kukatakan kalau Nona itu sepertinya tidak enak badan.”


Flower of purity, the Lotus in Korean culture

Juni 29, 2013 0 Comments



Bees hovering over a field of lotus

It’s July. Edge of the monsoon season, when the lotus start to bloom. The lotus. It’s the swan of flowers. Well, to be frank, that’s not an absolutely accurate metaphor but the big difference in what you see above the water and what lies below somehow conjures up that comparison: the swan busily paddling its webbed feet all while containing its elegant composure, the lotus always blooming gracefully in even the murkiest waters.
As ubiquitous as the rose in England, the lotus is omnipresent in Korean culture. Not only the blossoms but also the roots, the leafy pads – the whole flower. It shows up in literature, in art, in architecture, in pop culture, and in food.

Lotus can be found everywhere, including the lanterns at Heungguk Temple in Yeosu

The lotus, of course, is a symbol of Buddhism. Either pink or white, it can bloom in even the foulest water; it retains its beauty without letting its environment taint its pure nature, like a Buddhist thrown into the ugliness of the world. The flower signifies a spiritual paradise; the bud of the blossom also resembles that of a person’s hands folded in prayer, the form of the meditating Buddhist with his legs crossed is called the lotus position.
The lotus can be found in Buddhist temples, both real and not. They bloom in ponds for contemplation, are painted into the eaves, carved into the lattice woodwork of doors and gates, and molded in the ironwork as well. They are also featured heavily in Buddhist paintings.

Phoenix surrounded by lotus motifs on the ceiling of Changgyeong Palace

The influence of Buddhism in Korean culture is immense. The Buddhist aspects in art and architecture reached far beyond the temples. You’ll always see the lotus in the palaces; it’s quite interesting to see the little differences between the designs of the lotus depending on the historic era and the palace’s unique characteristic.

The lotus seen in cheongja and baekja

The lotus can be frequently seen in sumaksae (수막새), the finishing tile at the end of roof eaves in Korean traditional architecture. There are many different designs which adorn sumaksae; mostly dragons and phoenix for palaces, while tigers and lions also make appearances. Although flowers such as chrysanthemums would occasionally show up, up till the Goryeo Dynasty (918 ~ 1392), the lotus was certainly the most prominent design.
In traditional pottery, the lotus was either painted on or carved into baekja (백자, white porcelain) and the more elaborate and intricate cheongja (청자, celadon). Modern day designs also incorporate the lotus into their designs quite frequently; chinaware, silverware, tableware and other kitchen products. The hems of hanbok (한복), the traditional Korean costume, are commonly decorated with gold leaf of various patterns. The lotus is quite the popular motif for them as well.

Simcheong, the symbol of filial piety in a lotus blossom

As for the most famous lotus in Korean literature, it is from the folk tale of Simcheong (심청, read about famous Korean folk tales: here). Simcheong, the virtuous daughter of filial piety, rose up from the sea within a giant lotus blossom after sacrificing herself to the God of the Sea in order to help her blind father. The lotus’ significance can’t be clearer.

Grilled lotus roots and lotus root salad on a lotus blossom plate

Besides the many religious connotations, because the lotus brings forth many seeds, it was also considered a symbol of fecundity, something quite important in traditional society. The seeds, leaves, and roots were often used for medicinal purposes, and also became part of Korean cuisine.
A familiar banchan (반찬, side dish), lotus roots are the easiest to spy in Korean meals. Yeongeun (연근) are commonly sold in markets; they are stir-fried, fried, steamed, simmered down, made into tea, and may be cooked in every other creative way possible. They have a crunchy texture and because they are known to be good for the blood, they were abused as lunchbox banchan by mothers of anemic students before hot school lunches became the norm. (Although tasty, I have eaten more than my fair share of soy simmered lotus roots during those school years and try to avoid them as much as possible.)
Lotus roots on lotus blossom and lotus leaf wrapped rice

Yeonipbap (연잎밥), rice in lotus leaves, are less common but are usually found in specialty vegetarian places, such as restaurants serving temple food. The lotus leaves give the rice a subtle fragrance which pairs well with various vegetable banchan.
Unlike its name, traditional yeonyeopju (연엽주) is more like shikhye (식혜), a sweet fermented rice drink, than a hard liquor. It is a traditional drink made in Gangwon province by fermenting glutinous rice wrapped in lotus leaves. The leaves are unwrapped right before drinking and pine nuts are added to enhance the flavor. Yeonyeopju from the Chungcheong province is a more alcoholic drink, where different rice is used and there is no individual wrapping of lotus leaves. The fragrance of the lotus is prominent in both varieties; they both are considered regional specialties.

Muan Lotus Festival

The lotus is hailed in every aspect of Korean culture, so it is not surprising that there is a festival dedicated to them. In fact, there are several lotus festivals going on within the country, from July to August, when the lotus is in its full glory.

12th Haso Baekryeon Festival (2012/7/13 ~ 2012/7/22)
White lotus festival, North Jeolla province

2012 Muan Lotus Festival (2012/7/26 ~ 2012/7/29)
South Jeolla province

10th Buyeo Seodong Lotus Festival (2012/7/26 ~ 2012/7/29)
South Chungcheong province
(Shortened link goes to Traveling Buyeo’s official site.)

2012 Bongseon Temple Lotus Festival (2012/7/28)
Namyangju, Gyeonggi province

10th Seoul Lotus Culture Festival at Bongwon Temple (2012/8/4 ~ 2012/8/11)
Seodaemun-gu, Seoul

5th Taean Lotus Festival at Cheongsan Garden (2012/6/28~2012/8/27)

You don’t necessarily have to go to festivals in order to enjoy the sight of lotus, though. In Buddhist temples and every Korean palace there would be a pond or two, no outdoor Korean park would be without a pond of lotus;Namsan and Seonyudo Park are good places in Seoul to catch a glimpse.

The Last King of Baekje, Euija

Juni 29, 2013 0 Comments
King Euija as depicted on KBS “King’s Dream”

They say history is written by the victors, which is easily proven by how little you learn of the “losing” nations during history class. The Korean history you learn in school, in particular, has a tendency to focus more on the dominant nations; otherwise you’d have to spend hours and hours per week to cover over 5,000 years of history. (Trust me, even just focusing on the victors made national history class a complete brainbuster.)
It’s easier when the Korean peninsula was a unified nation: Silla, Goryeo, and Joseon, for example, but it gets trickier when we’re talking about the times when it was not. The Three Kingdoms era, for example. (57 BCE ~ 668 CE) And among the Three Kingdoms, Baekje (백제) usually gets the least attention.

The early Three Kingdoms era in 375 when Gaya existed. Image courtesy of Wikimedia Commons.

The Three Kingdoms consist of Goguryeo(고구려), Baekje, and Silla(신라). Goguryeo, being one of the first countries established on the peninsula with an amazing founding legend has a great reputation, Silla wound up unifying the entire peninsula so it’s natural there would be much documentation about it, too. Consequently, it’s Baekje which gets a bit lost in the shuffle and unfortunately, because Euija was its last king, he gets a bad rap, too.
I’ve asked several people – Korean, of all ages – what the first thing that came to mind about King Euija and it came down to three things: last king of Baekje, the 3,000 ladies of court who jumped from Nakhwaam (낙화암), and General Gyebaek (계백장군).

King Euija and the fall of Baekje. Illustration by Chang Sun-hwan.

Euija was the eldest son of Baekje’s 30th king, King Mu (무왕). He was known to be virtuous, full of filial piety, humble, and always kind and courteous to others. Euija was already in his forties when he became king in 641. At that time, the Korean peninsula was rife with endless power struggles between the three nations. The influence of China’s Tang Dynasty was also a big factor; Baekje had maintained an amiable relationship with Tang since the reign of his father.
King Euija was adept in diplomacy and military strategy; keeping ties with Tang and creating alliances with Goguryeo meant that Baekje would be safe from Tang’s desire to conquer their nation, with Goguryeo serving as a roadblock. An alliance with Goguryeo also meant that alienating Silla would also be possible, for they were getting to be a big threat.
In the years of his reign, King Euija attacked Silla several times, directly leading the army himself to secure more land and strengthen Baekje’s power on the peninsula. By 643, he was able to attack and procure Silla’s most important fortress. He also attacked Silla in 645, when Tang decided to attack Goguryeo with help from Silla’s troops; he jumped on the chance of their absence. Unfortunately, after this incident and dealing with internal conflict, Silla decides to fully cooperate with Tang and become strong allies.
It is said that King Euija’s most trusted confidantes and political advisors noticed this change. They understood how Silla was steadily gaining potential to become a greater threat, how they were paying attention to the shifting of power on the peninsula and the continent. General Kim Chun-chu (김춘추) of Silla, who had received promises of Tang’s aid in avenging Baekje whilst on a diplomatic mission, became King Taejong Muyeol of Silla in 654. The famous general Kim Yu-shin (김유신), his brother-in-law, was at his side.
However, King Euija ignored his advisors’ counsel, for Baekje had victory upon victory. In 655, they also aided Goguryeo in procuring 33 northern fortresses of Silla, but it was around this time things started to unravel within Baekje as well. Intoxicated with the success of his reign, King Euija became lax in attending the nation’s affairs and started to seek pleasure, living a life of lavish luxury. Political power struggles arose within the court and the country began to be neglected.
In 660, fed up with constantly being attacked, Silla joined forces with Tang and started their plans to completely overtake Baekje. Attacks started in March, King Taejong Muyeol and General Kim Yu-shin personally led armies in May, immensely deflating Baekje’s prowess. These attacks culminated in the famous Battle of Hwangsanbeol (황산벌) in July, where General Kim Yu-shin defeated Baekje’s greatest General Gyebaek.
Tang simultaneously attacked Baekje from the shore, so after General Gyebaek’s defeat, it took only a short time before Baekje’s capital was taken over and fell. King Euija fled the capital with his sons but surrendered soon after. He was taken to Tang as a hostage with his family and died there that very year, the disgraced last king of Baekje.

King Euija from MBC’s drama “Gyebaek” (2011). Photo courtesy of MBC.

In 2008, new historical documents were discovered in China which suggests that it wasn’t King Euija who surrendered of his own will; he was betrayed by one of his subordinates who handed him over as a hostage to Tang. What the truth is always debatable, as scholars would point out, for the accuracy of historical documents are always debatable as well.
Even though, it is a fact that King Euija was Baekje’s last king, who will be forever remembered as the king who brought upon the nation’s demise. Whether it was indeed due to his negligence and outrageous lifestyle at the end or whether it would have been inevitable not to succumb to Silla – after all, Goguryeo also eventually fell to Silla in 668 – that is also a controversial issue.

Nakhwaam, the rock cliff where the 3,000 ladies of court jumped. Painting by Kim Hyun-chul.

So where does the legend of the 3,000 court ladies come from? We’ve already harbored on the fact of Euija being the last king, mentioned General Gyebaek, so what is the other thing about King Euija that people find so memorable? Probably due to the accusations that he led a lavish lifestyle of drink and pleasure in his later days, King Euija is notorious for being a ladies’ man, so much that the moniker “King Euija” (의자왕) itself is being used as slang for “ladies’ man” or “playboy”. It’s very commonly used, even when nothing has been truly documented to define that King Euija was indeed of such temperament.
However, there is a record of ladies of court jumping from the rock cliff after the capital was seized by Silla. The ladies, afraid of being compromised by the Silla army, jumped off the cliff and took their own lives in order to preserve their virtue. Although the cliff was originally named something else, it became to be called Nakhwaam (낙화암), which literally means “Rock of Falling Flowers”.
Since scholars speculate that the population of Baekje’s capital would have been around 50,000 at that time, it is highly improbable that there were 3,000 ladies of court. It is most likely an expression used for “many” which has been misinterpreted in modern times. Nevertheless, the image of 3,000 ladies of court flinging themselves over the cliff into the water below brings upon license for romanticizing, and has been stubbornly linked to King Euija through centuries.
To reiterate the whole of Baekje’s history here is impossible, or telling the complete story of Euija for that matter, because there is so much more to discover. Fortunately, there has been renewed interest in Baekje and Euija lately with more historical research and development of various tourist programs for the general public, not only in Baekje’s old region but throughout the country where its influence can be found.

Mural of Nakhwaam at Goran Temple

Even in Seoul, old remains of Baekje were discovered and the Seoul Baekje Museum was established last year in Olympic Park. There is a Baekje Cultural Land in Buyeo, where the Baekje Cultural Festival is held every year in the fall. In addition, the Goran Temple (고란사) in Buyeo, which dates back to the 11th century, has murals which depict Baekje’s history in delightful detail, of which the Nakhwaam mural is said to be the most popular.

Musical “Samcheon”: King Euija and his one lady of court

The increase of Baekje’s presence in TV, film, and the stage is also notable, where King Euija is undoubtedly the most explored. One of the most creative interpretations recently was that in the musical “Samcheon” (삼천) – which is a homonym for 3,000 – where it is not 3,000 ladies of court but one lady of court named Samcheon who is seeking to destroy King Euija and brings down the whole country in the aftermath. King Euija also regularly appears in historical dramas about the final years of Three Kingdoms era; currently KBS’s “King’s Dream” about Silla’s King Taejong Muyeol.

King Euija’s portrayal differs by which perspective the story is being told and one would hope that in the future, more historical information about King Euija would be revealed and he would be portrayed with more depth and dimension; he did do many good deeds as king, it would be unfortunate that he only be remembered by a titillating legend only.

***

More information:
Video from Cultural Heritage Administration of Korea about Baekje: http://youtu.be/mM0skGuf0dk
Baekje Cultural Land: http://www.bhm.or.kr
Baekje Cultural Festival: http://www.baekje.org
Seoul Baekje Museum: http://baekjemuseum.seoul.go.kr
KBS “King’s Dream” currently on air: http://www.kbs.co.kr/drama/kingsdream

The Last Princess of the Joseon Dynasty, Deokhye

Juni 29, 2013 0 Comments


The Imperial Family of Joseon: Crown Prince Youngchin, Emperor Sunjong, King Gojong, Empress Sunjeong, Princess Deokhye

At times, life can be more dramatic than any kind of fictional portrayal. At times, a person’s entire life can be more unusual than a theatrical presentation. Princess Deokhye’s life was like that: born the youngest and only daughter of King Gojong in 1912, she lived through the painful years of the annexation of Korea by Japan, forced into a political marriage with a Japanese nobleman and living most of her life in exile, only to return in 1962, 38 years after she left.
Baby Princess Deokhye

Princess Deokhye (덕혜옹주) was born to King Gojong and his concubine, the Lady Yang of Bongnyeongdang, earning her the title ongju (옹주). (The title gongju 공주 is reserved for children of the Queen.) King Gojong was sixty when she was born and being the only daughter, she was much loved by the King and the whole nation in dire need of comfort in the early years of the annexation.

Princess Deokhye in Japanese costume

Deokhye was a very bright child, prompting the King to establish a kindergarten in Deoksugung Palace. However, following the colonial policy of the Japanese Government-General of Joseon, her education was continued in an elementary school for Japanese nobility, learning lessons in Japanese whilst wearing Japanese or Western clothes. In 1925, she was sent to Japan to join the Crown Prince Youngchin, who had been there since he was eleven and had made a political marriage into Japanese royalty, as part of the policy to absorb the royalty of Joseon into the Japanese Imperial family to prevent the Joseon Royal Family to become the symbol of anti-colonial movement.

Princess Deokhye in class

Princess Deokhye’s life in Japan wasn’t a happy one. Although she was royalty, as a princess of an annexed country, she was ostracized, always anxious and in fear of her safety. She sought solace by being with her half-brother’s family, but her loneliness was acute.
King Gojong had died in 1919, and Emperor Sunjong, who was like a father to her, died in 1926. To make matters worse, her mother also passed away in 1929. Japanese royalty laws forbade her to wear proper mourning clothes for the funerals and soon after her mother’s passing, Princess Deokhye had a nervous breakdown. Her symptoms worsened and she was diagnosed with precocious schizophrenia.

Princess Deokhye’s wedding photo with So Takeyuki

Despite her unstable state of mind, plans for her marriage were carried out. Like the Crown Prince, it was to be with a Japanese aristocrat. Princess Deokhye’s condition slightly improved and in 1931 she was married to Count So Takeyuki (宗武志) of the noble clan of Tsushima. Regardless of their arranged marriage, the couple seemed to be happy and the following year, their daughter Masae (正惠) was born.
Unfortunately, Princess Deokhye’s mental state kept on deteriorating. When World War II ended, the fortunes of the Japanese nobility dissolved, and Count So was not an exception. Faced with financial ruin and nearing full dementia, Princess Deokhye was admitted into a Tokyo mental hospital in 1946. She passed the following years in the institution. Her husband was granted a divorce while she was hospitalized, their daughter Masae got married but went missing after leaving an ominous letter which many presumed to be a suicide note. Completely alone, Princess Deokhye was as good as forgotten.

Princess Deokhye returns to her homeland

Independence and the Korean War left chaos and political unease on the Korean peninsula. In 1950, efforts to bring back the Princess home were made when Kim Eul-han, the Tokyo correspondent for the daily newspaper Seoul Sinmun, heard of her plight, but this was dissuaded by the Korean government led by President Syngman Rhee who was against bringing back members of the Imperial Family in the new political atmosphere.
Through the continuous efforts of Kim, the Princess was finally able to return in 1961, 38 years after her departure from her homeland. A residence was set up in Changdeokgung Palace. Her old nanny from her youth was there to take care of her and so was her sister-in-law, Youngchin’s wife. Princess Deokhye’s mental state wasn’t stable. She did not recognize many of the things which should have been familiar and she went through continuous treatment at Seoul University Hospital until her death in 1989. She was laid to rest close to her father King Gojong’s tomb in Hongneung (홍릉).


In commemoration of the 100th year of Deokhye’s birth, the National Palace Museum of Korea is holding a special exhibition looking back on Princess Deokhye’s tumultuous life. Her life can be understood as a reflection of the country in the annexation era, a reminder of the pain and suffering of the nation as a whole. Her isolation and loneliness was that of the Korean people.

Princess Deokhye and her hanbok

The exhibition displays not only various photographs of the Princess but also many of her personal items, including the traditional hanbok which she wore as a child and wedding gifts.
Regrettably, except for some main titles, there are no extra explanations in any other language but Korean, so I would suggest going with someone fluent in Korean to fully appreciate the exhibition. The exhibition is free of charge, and since the museum is within Gyeongbokgung Palace’s grounds, making a quick tour would be quite easy. Like most galleries and museums, it is closed on Mondays. The exhibition runs until January 27th, 2013.

For more information:
The National Palace Museum of Korea

* All photos are courtesy of the National Palace Museum of Korea

Sejarah Raja Sukjong dari Dinasti Joseon

Juni 29, 2013 0 Comments


Raja sukjong dari dinasti joseon


BOGRAFI SUKJONG

Raja Sukjong dilahirkan pada tanggal 15 Agustus 1661, putra Raja Hyeonjong dan Ratu Myeongseong di Istana Changdeok. Namanya adalah Yi Sun. Ia menjadi Putra Mahkota pada tahun 1667 pada usia 7 tahun dan pada tahun 1674, pada usia 14 tahun, ia menjadi raja Dinasti Joseon yang ke-19.

Raja Sukjong merupakan seorang politisi yang cerdas, namun pemerintahannya ditandai oleh pertengkaran intens beberapa fraksi di dalam Dinasti Joseon. Sukjong sering mengganti fraksi yang berkuasa dengan yang lainnya untuk menguatkan otoritas kerajaan. Dengan pergantian tersebut, yang disebut dengan hwanguk (환국 換局), dibaca pergantian negara, fraksi yang kalah dsingkirkan seluruhnya dari politik dengan eksekusi dan diasingkan. Walaupun demikian, pergantian yang semrawut itu tidak memengaruhi populasi umum secara signifikan, dan pemerintahannya dianggap sebagai salah satu dari masa kemakmuran.

Nama Lengkap dan Anumerta yang diperoleh oleh Raja SukJong :
Raja Sukjong Hyeoneui Gwangyun Yeseong Yeongryeol Yumo Yeongun Hongin Jundeok Baecheon Habdo Gyehyu Dokgyung Jeongjung Hyeopgeuk Sineui Daehun Jangmun Heonmu Gyungmyung Wonhyo yang Agung Korea
숙종현의광윤예성영렬유모영운홍인준덕배천합도계휴독경정중협극신의대훈장문헌무경명원효대왕
肅宗顯義光倫睿聖英烈裕謨永運洪仁峻德配天合道啓休篤慶正中協極神毅大勳章文憲武敬明原孝大王

PERTIKAIAN ANTAR FRAKSI

Di awal tahun pemerintahan Sukjong, fraksi Selatan dan Barat berselisih tentang upacara Pemakaman Kerajaan, masalah yang kelihatannya kecil mengenai periode berkabung untuk Ratu Insun. Fraksi Selatan menuntut bahwa periode berkabung harus dilakukan selama satu tahun dan sebaliknya fraksi Barat membantah bahwa periode berkabung selama sembilan bulan. Satu tahun masa berkabung berarti Hyojong dianggap sebagai putra tertua dan periode sembilan bulan menandakan bahwa Hyojong tidak dianggap sebagai putra tertua, diikuti dengan peraturan yang memerintah di dalam kelas Yangban. Dengan kata lain, fraksi Barat melihat keluarga kerajaan sebagai kelas yangban yang pertama daripada kelas yang terpisah dimana peraturan lainnya diterapkan. Kedua fraksi tersebut juga berada di dalam konflik dengan isu memerangi Dinasti Qing, yang dianggap sebagai negara barbar (yang beda dengan Dinasti Ming) yang mengancam keamanan nasional Joseon. Fraksi Selatan yang dipimpin oleh Huh Jeok dan Yoon Hyu, mendukung perang melawan Qing dan fraksi Barat pertama-tama ingin fokus di dalam mengembangkan kondisi domestik.

Sukjong mulanya berpihak pada fraksi Selatan, namun pada tahun 1680, Huh Jeok dituduh berkhianat oleh fraksi Barat, yang mengakibatkan Huh Jeok dan Yoon Hyu di eksekusi dan pemberantasan dari fraksi Selatan. Insiden ini disebut Kyungshin hwanguk (경신환국). Sekarang yang berkuasa, fraksi Barat dipisah menjadi fraksi Noron (Pelajaran Lama) yang dipimpin oleh Song Siyeol, dan fraksi Soron (Pelajaran Baru), yang dipimpin oleh Yoon Jeung. Setelah 9 tahun berkuasa, Noron ambruk ketika Sukjong menggulingkan Ratu Inhyeon, yang di dukung oleh fraksi Barat, dan menunjuk Selir Hee dari klan Jang (atau Selir Jang) sebagai ratu yang baru. Fraksi Barat membuat geram Sukjong ketika mereka menentang pelantikan putra Selir Jang sebagai putra mahkota. Fraksi Selatan, yang mendukung Selir Jang dan putranya, mendapatkan kembali kekuasaan dan menyingkirkan fraksi Barat, mengeksekusi Song Siyeol sebagai tindakan balas dendam. Ini dinamakan Gisa hwangguk (기사환국).

Lima tahun kemudian pada tahun 1694, fraksi Selatan merencakan pemberantasan lainnya terhadap fraksi Barat, menuduh mereka berkonspirasi untuk menempatkan kembali Ratu Inhyeon yang diasingkan, ketika Sukjong mulai menyesal telah mengasingkan Ratu Inhyeon dan menyayangi Selir Suk dari klan Choi (Selir Choi), sekutu Ratu Inhyeon dan fraksi Noron. Marah dengan usaha fraksi Selatan yang memberantas fraksi Barat, Sukjong tiba-tiba berbalik memberantas faksi Selatan dan membawa fraksi Barat kembali berkuasa. Fraksi Selatan tidak pernah pulih dari pukulan ini, juga disebut Gapsul hwanguk (갑술환국). Sukjong menurunkan gelar Ratu Jang menjadi Selir Jang dan menempatkan kembali Ratu Inhyeon. Selir Jang akhirnya dieksekusi dengan minum racun karena mengutuk Ratu Inhyeon setelah kemudian wafat. Fraksi Soron mendukung Putra Mahkota, putra Selir Jang, dan fraksi Noron mendukung putra Selir Choi, Yeonying-gun (kemudian menjadi Yeongjo). Mendiang Ratu Inhyeon dan Ratu yang baru Inwon tidak memiliki keturunan.

Pada tahun 1718, Sukjong membiarkan putra mahkota, yang bakal menjadi Gyeongjong, memerintah negara sebagai seorang wali raja. Ia wafat pada tahun 1720 konon setelah memberitahu Yi Yi-myoung untuk menunjuk Yeonying-gun sebagai pewaris Kyungjong, namun tanpa kehadiran pencatat sejarah atau diari kerajaan. Wasiat ini mengakibatkan pemberantasan lain yang mengakibatkan 4 pemimpin Noron di eksekusi pada tahun 1721, diikuti oleh pemberantasan lainnya dengan eksekusi 8 anggota Noron pada tahun 1722.

Sukjong mereformasi sistem pajak dan mengijinkan kelas menengah dan anak-anak selir untuk maju ke posisi pemerintah yang lebih tinggi di propinsi-propinsi. Pada tahun 1712, pemerintahan Sukjong bekerja denganDinasti Qing, Cina untuk menetapkan perbatasan nasional antara dua negara di Sungai Yalu dan Tumen. Pemerintah Jepang mengakui Pulau Ulleung dan Batu Liancourt sebagai wilayah Joseon pada tahun 1696. Pemerintahan Sukjong juga menyaksikan perkembangan pertanian dari propinsi jauh dan meningkatnya aktivitas budaya termasuk publikasi-publikasi.

Raja Sukjong memiliki 3 Ratu dan 7 Selir, 7 putra (2 dari mereka diragukan) dan 2 putri (lihat silsilah keluarga di bawah ini). Ia wafat setelah 46 tahun memerintah pada tahun 1720 pada usia 60 tahun. Ia dimakamkan di Myeongreung (명릉) di propinsi Gyeonggi, Kota Goyang di dalam Pemakaman Lima Kerajaan Barat (西五陵 서오릉 seooreung).

PARA PERMAISURI SUKJONG

Ratu Ingyeong (1661–1680)

Putri Kim Man-gi[1] dan Lady Han[2]. Ia menikah di usia 10 tahun dengan Sukjong (yang ketika itu masih sebagai Putra Mahkota (王世子 왕세자 wangseja), gelarnya adalah Puteri Istri Putra Mahkota (王世子嬪 왕세자빈 wangsejabin). Pada tahun 1674, bersama dengan kenaikan tahta suaminya, ia menjadi Permaisuri Joseon. Di bulan Oktober 1680 (usia 19 tahun), ia sakit cacar dan wafat 8 hari kemudian di Istana Changdeok. Ia dimakamkan di Ikneung (익릉) di Propinsi Gyeonggi. Ia memiliki 2 putri, yang mati pada saat lahir.

Ia diberikan gelar anumerta "Ratu Ingyeong, Gwangryeol Hyojang Myeonghyeon Seonmok Hyeseong Sunui" (광렬효장명현선목혜성순의인경왕후 光烈孝莊明顯宣穆惠聖純懿仁敬王后).
 
Ratu Inhyeon (1667–1701)

Putri Min Yoo-jung[3] dan Lady Song[4], ia menjadi Permaisuri Sukjong dengan pernikahan pada tahun 1681. Ia mungkin dikenal sebagai salah satu Ratu yang terbaik di dalam Dinasti Joseon. Kehidupannya digambarkan di dalam banyak drama sejarah Korea. Ketika so-ui[5] Jang Ok-jeong melahirkan seorang putra pada tahun 1688, terjadi perselisihan berdarah yang disebut Gisa Sahwa (기사사화). Selama ini, Sukjong ingin memberikan putra tertuanya (gelar wonja (元子 원자)[6]) gelar "Putra Mahkota" (王世子 왕세자 wangseja) dan ingin mempromosikan Lady Jang dari status So-ui ke status Hui-bin[7]. Aksi ini ditentang oleh fraksiNoron (dipimpin oleh Song Si-yeol, dengan Min Yoo-jung (ayah Inhyeon) sebagai anggotanya), dan ini didukung oleh fraksi Soron (dimana Jang Hui-jae (kemudian) abang Jang so-ui adalah salah seorang anggotanya). Sukjong menjadi marah dengan oposisi tersebut, dan banyak yang dibunuh termasuk Song Si-yeol. Banyak anggota termasuk Inhyeon dan keluarganya, dipaksa dibuang ke pengasingan. Ratu Inhyeon digulingkan dan Jangso-ui menjadi Jang hui-bin, dan kemudian menjadi Permaisuri Ketiga.

Kemudian pada tahun 1694, Sukjong, merasa menyesal atas sikap temperamennya, dan menyerah kepada penempatan kembali Inhyeon, yang dipimpin oleh Soron (kejadian ini disebut Gapsul Hwanguk (갑술환국)) Ia dibawa kembali ke istana dan dikembalikan statusnya sebagai Permaisuri, dengan Lady Jang diturunkan ke status hui-bin. Pada tahun 1701 di usia 34 tahun, ia jatuh sakit dan meninggal, penyebab penyakit tersebut tidak diketahui[8].

Konon ketika Sukjong sedang berkabung atas kematian Inhyeon, memimpikannya mengenakan pakaian sobok yang penuh bersimbahan darah. Sukjong bertanya pada Inhyeon bagaimana ia mati, yang kemudian menunjuk ke arah kamar Jang Hui-bin (tanpa berkata apa-apa). Sukjong terbangun dari mimpinya dan pergi ke kamar Jang. Ketika mendekat, ia mendengar musik dan suara tertawa. Dengan menguping ia melihat Jang Hui-bindengan seorang Shaman di dalam kamarnya, sedang berdoa untuk kematian Ratu, dan menusuk sebuah boneka dengan panah. Ketika hal tersebut dipergoki oleh Sukjong, ia (bersama dengan abangnya) dieksekusi atas perbuatannya (dengan meminum racun (사사 sasa)).

Salah satu pelayan Ratu menulis sebuah buku yang disebut Inhyeon Wanghu Jeon (仁顯王后傳 인현왕후전 Kisah Ratu Inhyeon), yang masih ada sampai sekarang. Ia dimakamkan di Myeongreung (명릉) Propinsi Gyeonggi, dan Sukjong kemudian dimakamkan dekat dengannya di area yang sama. Ia tidak memiliki keturunan dengan Sukjong.

Ia diberikan gelar anumerta "Ratu Inhyeon, Hyogyeong Sukseong Jangsun Wonhwa Uiyeol Jeongmok" (효경숙성장순원화의열정목인현왕후 孝敬淑聖莊純元化懿烈貞穆仁顯王后).
Ratu Inwon (1687–1757)

Putri Gim Joo-shin[9] dan Lady Jo dari klan Imcheon Jo[10], ia menikah dan menjadi[11] Permaisuri Ketiga Sukjong diusia 15 tahun, pada tahun 1702, setelah kematian Inhyeon pada tahun 1701. Ia selamat dari penyakit cacar pada tahun 1711. Ia menjadi Ibu Suri (大妃 대비 daebi) setelah Sukjong wafat dan anak tirinya (oleh Jang hui-bin) menjadi raja, dan Ibu Suri yang Agung (大王大妃 대왕대비 daewangdaebi) pada tahun 1724 setelah Gyeongjong (anak tirinya oleh Jang hui-bin) wafat dan Yeongjo (anak tiri lainnya oleh Choi suk-bin), yang ia sayangi, menjadi raja. Ia tidak memiliki keturunan, dan wafat pada tahun 1757 di usia 70 tahun, dan dimakamkan dekat dengan Sukjong dan Inhyeon di Propinsi Gyeonggi.

Ia diberikan gelar anumerta "Ratu Inwon, Hyesun Jagyeong Heonryeol Gwangseon Hyeonik Kangseong Jeongdeok Suchang Yeongbok Yunghwa Hwijeong Jeongwoon Jeongui Jangmok Inwon Wanghu" (혜순자경헌렬광선현익강성정덕수창영복융화휘정정운정의장목인원왕후 惠順慈敬獻烈光宣顯翼康聖貞德壽昌永福隆化徽精正運定懿章穆仁元王后).

Jang Hee Bin/Jang Ok Jung (1659–1701)

Ia hanya diketahui sebagai seorang keponakan yang pernah disingkirkan seorang pedagang yang bernama Jang Hyeon (장현) dan tidak ada catatan tentang siapa ayahnya. Namun, konon menurut sebuah isu, ayahnya adalah Jo Sa-seok (조사석; keponakan kedua Ibu Suri Jangryeol), karena ibu Ok-jeong (Nyonya Yoon) merupakan gundiknya yang terkenal.

Ok-jeong menjadi Ibu Suri Jangryeol pelayan istana (ratu kedua Injo) dengan rekomendasi Pangeran Dongpyeong (keponakan pertama Sukjong yang pernah disingkirkan). Kemudian pada tahun 1686, Sukjong bertemu dengannya setelah sebuah kunjungan dengan nenek buyut tirinya (Ibu Suri Jangryeol) dan menjadikannya selir dan memberinya gelar suk-won[12]. Pada tahun 1688, ia dipromosikan ke so-ui, dan pada tahun 1688 ia melahirkan seorang putra, dan menjadi hui-bin. Ketika Inhyeon digulingkan dan dibuang ke pengasingan di bulan Mei 1688, ia menjadi Permaisuri Ketiga yang di dukung oleh fraksi Soron, dan putranya dijadikan Putra Mahkota, memberi ruangan untuk Gisa Hwanguk.

Kemudian pada tahun 1694, dengan penempatan kembali Inhyeon, Permaisuri dikembalikan statusnya menjadi hui-bin. Pada tahun 1701, Inhyeon meninggal oleh sebuah penyakit yang tidak diketahui. Konon Sukjong memergoki Jang hui-bin, abangnya Jang Hui-jae dan seorang Shaman menjampi-jampi kematian Inhyeon (ketika menusuk sebuah boneka dengan panah). Jang hui-bin, abangnya, dan setipa orang yang terlibat ditahan dan di hukum mati dengan meminum racun. Ia berusia 42 tahun dan memiliki dua anak: Gyeongjong dan Pangeran Seongsu (diragukan).

Setelah ini, Sukjong membuat hukum yang melarang selir-selir diijinkan menjadi Permaisuri di kemudian hari. Jang hui-bin meninggalkan banyak cerita-cerita rakyat termasuk kehausannya akan kekuasaan, dan sebuah cerita tentang kejadian sebelum kematiannya dengan putranya (kemudian Putra Mahkota (bakal Gyeongjong)[13].

Walaupun demikian, karena ia merupakan ibu dari Putra Mahkota, ia diberikan gelar anumerta "Lady Oksan, Selir Istana yang Agung; Selir Prefektur yang Agung klan Indong Jang" (대빈궁옥산부대빈장씨 大嬪宮玉山府大嬪張氏). 

Choi Suk Bin/Choi Dong Yi (1670-1718)

Tidak ada catatan tentang kehidupannya sebelum ia menjadi selir Sukjong. Ia adalah seorang pelayan air di dalam istana, dibawah Ratu Inhyeon. Di suatu malam, ia berdoa di dalam kamarnya untuk kesehatan Inhyeon, ketika Sukjong yang lewat di depannya setelah bepergian dari luar istana mendengarnya dan tersentuh akan ketulusan hatinya (Sukjong yang sedang menyesal pada sat itu), menjadikannya sebagai selirnya. Ia menjadi suk-ui setelah melahirkan seorang putra pada tahun 1694. Selain anak ini, ia memiliki 2 orang putra lainnya (keduanya diragukan). Setelah Pangeran Yeoning (Yeongjo) lahir pada tahun 1694, ia dipromosikan menjadi "suk bin" Ia diberikan gelar anumerta "Lady Hwagyeong, Selir Suk dari klan Choi" (화경숙빈최씨 和瓊淑嬪崔氏).
Park myeong-bin

Tidak ada catatan hanya sebuah kenyataan bahwa ia merupakan putri dari seorang Yangban. Ia memiliki satu orang putra, Pangeran Yeonryeong.

KELUARGA SUKJONG
Ayah : Raja Hyeonjong (현종)
Ibu : Ratu Myeongseong dari klan Kim (명성왕후 김씨)
Selir-selir :

1. Ratu Ingyeong dari klan Kim (인경왕후 김씨, 1661–1680)

2. Ratu Inhyeon dari klan Yeoheung Min (인현왕후 민씨, 1667–1701) - Tanpa keturunan

3. Ratu Inwon dari klan Kim (인원왕후 김씨, 1687–1757) - Tanpa keturunan

4. Selir Hee dari klan Indong Jang (희빈 장옥정, 1659-10 Oktober, 1701)

5. Selir Suk dari klan Choi (숙빈 최씨, 1670-1718)

6. Selir Myeong dari klan Park (명빈 박씨)

7. Selir Yeong dari klan Kim (영빈 김씨)

8. Kim Gwi-in (귀인 김씨)

9. Yu So-ui (소의 유씨)

10. Choi So-ui (소의 최씨)
Keturunan :

1. Pangeran Pewaris Kerajaan (Pangeran Yun) (왕세자 1688-1724), Putra Tunggal Selir Hui dari klan Indong Jang.

2. Pangeran Seongsu (성수왕자), (Diragukan) Putra Selir Hui dari klan Indong Jang.

3. Pangeran Yeongsoo (영수왕자), (Yang Pertama Diragukan) Putra Selir Suk dari klan Choi.

4. Pangeran Yeoning (연잉군 1694–1776), Putra Tunggal Selir Suk dari klan Choi.

5. Seorang Putra tak bernama (Yang Kedua Diragukan) Selir Suk dari klan Choi.

6. Pangeran Yeonryeong (연령군, 1699–1719), Putra Tunggal Selir Yeong dari klan Kim.

7. Seorang Putra Tunggal tak diketahui (Diragukan) Selir Choi So-ui.

8. Dua orang putri tak bernama Ratu Ingyeong dari klan Kim.


Untuk Replika cerita cinta SukJong dan Ratu Ingyeong, Ratu Inhyeong, Selir HeeBin, dan Selir SukBin, kalian bisa saksikan Saeguk Drama yang ditayangkan SBS berjudul Jang Ok Jung.


Ada versi yang lain dalam Saeguk Drama Dong Yi, Jewel In The Crown yang tayang di MBC 2010 lalu. Di Drama ini dan Drama Jang Ok Jung, memilik sudut pandang yang berbeda. Di Drama Jang Ok Jung melalui sudut pandang Jang Ok Jung dan Fraksi Namin. Kalau di Drama Dong Yi, melalui sudut pandang Dong Yi dan Ratu Inhyeon serta Fraksi Seoin dan Noron.



Kamis, 27 Juni 2013

Kyuhyun dan beberapa artis yang mirip dengannya

Juni 27, 2013 0 Comments
Pada kesempatan yang sebelumnya, gue udah pernah pos tentang Kyuhyun dan Jung Euichul yang mirip. sekarang saya akan ulas kembali. mereka memiliki beberapa kesamaan. dan gue suka mereka-mereka yang mirip dengan Kyuhyun ku :)
ini beberapa artis-artis yang mirip dengan Kyuhyun ku :)

ini Jung Eiuchul :)

ini Lee Jonghyun cnblue

Lah, ada yang tau ini siapa? ini adalah Guru Heo Yeom dewasa di serial drama saeguk The Moon That Embrace The Sun. namanya Song Jae Hee. gimana? mirip?


Dan ini, idah tau kan ini siapa?? haha xD



Jadi, siapakah yang termirip dengan Kyuhyun kita ELF??
Jung Euichul kah? atau Lee Jonghyun? atau bahkan Song Jae Hee?
siapakah pilihanmu?